Rabu, Desember 7

Tjilik Riwut Berkisah


Aksi Kalimantan Dalam Tugas Operasional Militer Pertama 
Pasukan Payung Angkatan Udara  Republik Indonesia
Dikisahkan kembali
 oleh 
Nila Suseno
Berdasarkan 
catatan-catatan Tjilik Riwut, 
dilengkapi ungkapan tertulis 
para pelaku Sejarah.
ISBN 979-97999-0-2
Penerbit PUSAKALIMA
Cetakan pertama , Oktober 2003
Dipersembahkan 
kepada 
Teman-teman seperjuangan 
Almarhum Bapak Tjilik Riwut 
dimanapun berada.  
Operasi ini adalah salah satu bagian dari Aksi Kalimantan dengan tugas operasional militer sebagai pasukan payung Angkatan Udara Republik Indonesia untuk pertama kalinya. Peristiwa inilah yang menyebabkan tanggal 17 Oktober ditetapkan sebagai hari jadi Kopasgat [1] 
Kopasgat sekarang dikenal sebagai Pasukan Khas (Paskhas) TNI Angkatan Udara, berdasarkan Keputusan Men/Pangau No.54 tahun 1967 tanggal 12 Oktober 1967. Ciri-ciri  Pasukan Khas TNI Angkatan Udara adalah perpaduan dari ciri-ciri pasukan darat yang berkualitas para komando dengan ciri-ciri Prajurit Angkatan Udara.. .



[1] Kopasgat = Komando Pasukan Gerak Cepat, adalah kesatuan didalam AURI yang anggota-anggotanya dalam melakukan tugasnya terjun dari udara dengan menggunakan payung udara.


UNGKAPAN TERTULIS PADA PERISTIWA BERDARAH 23 NOVEMBER 1947, OLEH PARA PELAKU SEJARAH[1]

CERITA SUYOTO
    
"Saya satu selimut dengan Harry. Waktu ribut tembakan baru bangun dan segera meraba-raba pistol dan granat tapi tidak ketemu. Bantal saya terasa tertembus peluru, yang rupanya terus mengenai saudara Harry.
Kemudian tampak di depan saya seorang militer musuh mengacungkan senapannya yang bersangkur dan berteriak supaya saya angkat tangan dan turun ke bawah. Di sana saya akan ditembak oleh seorang serdadu, tetapi dihalangi oleh seorang pemimpin pasukan mereka. Kalau tidak salah Letnan Kruisen. Kemudian saya diikat di tiang dan menunggu nasib.
Sementara itu terdengar suara Harry dari pondok," Ik Zeg toch niets, hallo Yogya, hallo Yogya, sekarang keadaan selamat. Suyoto! waar zijn schoenen?"
Karena lantai pondok setinggi tiga meter dari tanah dan jarang-jarang, saya dapat melihat ia sedang meraba-raba. Kemudian seorang militer NICA naik keatas dan menendang jungle karabijn yang hendak diraihnya.
Saudara Harry lantas diikat dan diturunkan. Ia ditanyai oleh Letnan Kruisen, Komandan Belanda itu dan dipegangnya saudara Harry. Saya disuruh naik ke atas dan membuat identifikasi kedua orang yang berbaring di pondok. Mereka adalah Harry dan Kosasih. Saudara Harry nampak terluka berat, sedangkan saudara Kosasih nampaknya sudah meninggal dunia.
Kemudian saya turun dan disuruh mengenali seorang lagi yang telah bergelimpangan berlumuran darah. Ternyata ini adalah saudara Iskandar yang telah meninggal dunia juga. oleh saya percakapan sebagai berikut, "Waar zijn... (tidak terbaca, ns) Ik zeg toch niet. Ditanya lagi tapi tidak menjawab.
Sementara itu kedua mayat teman seperjuangan kita ditelanjangi dan dikubur dalam satu kuburan. Dari pandangan sepintas lalu saya mengetahui luka-luka pada almarhum saudara Kosasih sebagai berikut: di muka lima lubang dan beberapa lubang-lubang di dada. Dari almarhum saudara Iskandar saya catat tujuh lubang dikepala dan di dada.
Kemudian saya diikat dan dibawa dengan perahu ke Mujang. Saudara Harry dibaringkan dan kemudian pada pukul 11 ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Teman-teman lainnya kemudian bertemu pula di pesangrahan dimana saya ditawan. Mereka datangnya dengan berangsur-angsur ."

UNGKAPAN TERTULIS DARIUS

"Tembakan pertama tidak saya dengar. Setelah mendengar bahwa ada serangan musuh, saya segera melompat keluar dengan membawa sten yang dibelit di tangan. Tapi karena gugup, ketika terjun dari pondok, sten terlepas.
Saya lari ke arah timur laut dengan menyusuri sungai. Selanjutnya membuat rakit dan dengan demikian dapat berjalan dengan lebih cepat. Selama lima hari di hutan, saya kelaparan sehingga jika menemui ladang langsung mengambil ubi dengan tidak meminta permisi kepada yang empunya karena takut dicurigai.
Di hutan saya bertemu beruang yang sedang beranak. Untungnya saya tidak mendapat gangguan. Pada hari kelima dalam keadaan perut keroncongan, saya memasuki pondok yang disangka kosong. Saya bermaksud tidur karena hari sudah malam.
Tiba-tiba saya melihat lampu baterai di luar disertai bisikan orang. Ternyata kepala kampung yang sedang berpatroli. Ketika sedang bercakap-cakap, datanglah empat orang militer Belanda yang langsung menangkap saya dan menyuruh masuk rumah.
Karena saya sendirian, kesempatan ini saya gunakan untuk melarikan diri melalui lantai yang saya buka. Tetapi sayang sekali kepala saya tercantol sementara badan baru masuk setengah di dalam lubang lantai sehingga penjaga yang segera naik ke atas masih berkesempatan untuk memegang rambut kepala saya. Saya lantas dibawa dengan perahu dan diangkut ke Mujang."

PENGALAMAN BACHRI :

"Pada hari yang sial itu saya kira-kira jam lima bangun untuk buang air karena perut rasanya sangat sakit. Baru saja saya menginjakkan kaki ke tangga untuk turun, ketika mendengar tembakan satu kali. Ketika mau berteriak, kedengaran suara Ali Akbar yang terbangun dan berseru: "Kenapa peluru-Mu terbakar?"
Kemudian setelah itu terdengar tembakan gencar dari tiga jurusan. Tapi saya telah jatuh ke bawah dan merebahkan diri. Di tengah peluru yang bersuit-suit, saya merayap-rayap dan berhasil meloloskan diri ke hutan setelah menyeberangi Sungai Manahan.
Setengah jam kemudian ketemu dengan Ali Akbar yang seperti saya tidak membawa senjata. Berdua kami meninggalkan daerah perangkap dan menuju ke utara. Kira-kira pukul 8 kami bertemu dengan Mica Amirudin. Sehingga kami bertiga merupakan satu rombongan. Ketiganya dari kami tidak mengetahui nasib dari teman lainnya. Tapi saat itu kami masih kuat sebab Amirudin membawa sten dengan 14 peluru.
26 Nopember 1947, kami sampai di Sungai Kaleh, salah satu anak Sungai Seruyan. Maksud kami untuk menyeberang digagalkan karena melihat 3 buah perahu patroli musuh.
Dua hari lamanya kita berkeliling di hutan, tapi tidak dapat menemukan jalan. Yang kita tuju sekarang yaitu ... (tidak terbaca, ns) dimana saya banyak mempunyai kenalan. Karena itu sekarang kami mempergunakan jalan air dan pada tanggal 29 Nopember 1947 siang milir dengan getek yang kami buat.
Setelah empat jam lamanya berlayar, kami melalui riam dan mendapat kecelakaan. Ali Akbar jatuh di air, tapi untung dapat ditolong.
Malamnya tidur di rakit. Esok harinya rakit dilepaskan, setelah kita sampai di satu ladang yang kita kenal, dan kami selanjutnya berjalan menuju ke utara lagi.
Seminggu lamanya setelah itu kita berjalan di hutan dengan hidup dari apa yang tersedia di ladang orang. Memang mengambil dengan tiada pamit menurut pertimbangan sehat adalah tidak baik. Akan tetapi keadaan kita dan perut yang keroncongan menekan rasa pertimbangan kita yang sehat itu.
Akhirnya pada tanggal 7 Desember 1947 kita berhasil mendapat perlengkapan baru dari rumah-rumah kosong yang ditinggalkan orang. Perlengkapan ini berupa baju kulit kayu dan cawat sebagaimana yang lazim dipakai penduduk.
Sebentar kita bertiga telah bersalin rupa menjadi orang-orang penduduk asli. Baju militer kita serta senapan mesin dibungkus sehingga samaran kita tidak terganggu. Tidak akan ada orang yang mengira bahwa kita bukan penduduk asli, sebab topi bambu pun kita pakai, seperti yang biasa dipakai oleh penduduk.
Akan tetapi dalam pada kita membuat siasat penyamaran, kita terlalu banyak mengambil resiko terhadap dua siasat musuh yaitu:
a.   Peraturan consignering, dengan mana penduduk-penduduk tidak boleh meninggalkan kampungnya sehingga kedatangan orang-orang baru atau yang dalam perjalanan lekas dapat disinyalir.
b. Pengkhianatan mereka kaki tangan musuh, yang antaranya telah menyebabkan kita masuk perangkap di Sungai Manahan.
    
Demikianlah, kita terjebak di Mongojuoi dimana kepala kampungnya menyambut kami dengan segala keistimewaan dengan segala janji yang muluk-muluk untuk menyelamatkan kita dari ancaman Belanda.
Sesungguhnya istimewa jamuan nasi yang dihidangkan kepada kami. Nasi kepada mana kami telah rindu telah dapat kami makan sekenyang-kenyangnya. Semenjak 17 Oktober sampai kini 8 Desember belum pernah lagi kami menikmati lezatnya nasi.
Istimewa pula penghormatan mereka kepada kami bertiga dengan menyediakan satu perahu besar buat tiap-tiap orang dari kami (dengan tiap perahu diberi pengawalan 7 orang). Buktinya dalam satu tikungan sungai yang semula tidak kami lihat telah bersiap menghadang empat buah perahu patroli NICA, penuh dengan serdadu-serdadunya bersenjatakan lengkap.
Luar biasa pula sambutan Sersan Delima kepada kita : "... (tidak terbaca, ns) tentara republik berpakaian begitu !!!( kami berpakaian cangcut), angkat tangan!". Dan... kami bertiga berkumpul dengan teman-teman lainnya di Mujang. "

PENGALAMAN Y. BITAK

"Hampir pagi pada peristiwa 23 Oktober itu, saya tertidur dengan nyenyak, baru bangun setelah mendengar teriakan musuh.
Melihat Willem dan Amirudin melompat keluar dengan menjatuhkan diri, saya menyusul. Senjata tidak terbawa karena sudah terpegang oleh Letnan Iskandar yang melompat ke atas dan setelah di bawah ia duduk dan kedengaran berteriak: "Mati saya!".
Di sekitar keningnya darah bercucuran. Saya tertegun; mau membawanya ada tembakan gencar, mau meninggalkannya hati tidak enak. Karena itu usaha pertama ialah melindungi diri.
Saya masuk rumpun bambu, bersembunyi di bawah sebatang pohon yang tumbang sambil bertiarap, dengan masih mendapat pemandangan kepada Letnan Iskandar yang berbaring tidak bergerak.
Setelah tembakan berhenti tampak Belanda-Belanda menghampiri saudara Iskandar, di antaranya tampak pula Singamaliki, Kepala Kampung Mujang, Mantri Polisi Achmad, yang sekarang menjadi Wedana Puruk Cahu, dan Letnan Kruisen.
Beberapa orang penduduk disuruh mengubur mayat-mayat, yang ternyata ialah saudara Iskandar dan saudara Achmad Kosasih. Kedua jenazah ini sebelumnya ditelanjangi dahulu.
Kira-kira jam 8 suasana di ladang sudah sepi, karena orang pada pulang. Setelah merasa aman baru saya keluar dan melihat-lihat bekas terjadinya peristiwa sedih ini. Setelah melihat pondok yang dirusak dan semua perbekalan diangkut, saya menggali kuburan untuk meyakinkan apa yang terjadi kepada teman-teman seperjuanganku yang telah gugur itu. Untuk menggali ini saya pergunakan sebilah bambu.
Pada jenazah saudara Kosasih yang terletak di atas saudara Iskandar saya melihat luka besar di dada. Sedangkan pada saudara Iskandar tampak dua lubang di kening.
Dengan membawa kapak di tangan dan hati yang remuk redam, saya meninggalkan ladang dan berjalan ke utara untuk terus melanjutkan tugas yang telah sekali dibebankan kepada kami.
Setelah dua hari di jalan, sampai di sebuah pondok orang tua dengan seorang anaknya, dimana saya dapat menginap dan diberi pertolongan secukupnya. Ternyata orang tua ini adalah orang kepercayaan Mayor Tjilik Riwut dengan bukti surat keterangan yang dibawanya.
Dengan bantuannya saya diantar dengan perahu untuk dapat menyeberangi Sungai Seruyan agar dengan demikian dapat melanjutkan perjalanan ke Sepanbiha. Pakaian diganti dengan cangcut sedangkan pakaian militer dibuntel.
Cuma sayang aral datang melintang, karena perjalanan air juga dipergunakan musuh kita, saya tertangkap oleh patroli yang dipimpin oleh sersan Delima...(tidak terbaca, ns). ... (tidak terbaca, ns) dengan mana saya ditangkap dan dikumpulkan bersama kawan-kawan lainnya di Mujang."

PENGALAMAN LETDA. M. DACHLAN

"Saya baru terbangun setelah meletus tembakan pertama. Sayup-sayup kedengaran yang berteriak tentang peluru yang jatuh, tetapi setelah kedengaran tembakan gencar, baru sadar. Senjata yang digantung diambil, tetapi tidak dapat terlepas[2] .
Setelah tidak berhasil lalu duduk dan merasa ada apa-apa yang mengenai leher bagian belakang. Dalam keadaan setengah pingsan, saya berdzikir, kemudian sadar lagi mungkin karena peluru-peluru yang berdesing-desing jarak sejengkal dari kepala. Dengan berguling-guling saya dapat ke luar dari pintu menjatuhkan diri dan merayap-rayap ke arah sungai. Masih sempat melihat mayat saudara Iskandar.
Peluru-peluru terus terdengar bersuitan disekitar badan, sehingga saya sampai di seberang sungai dan bersembunyi di bawah rumpun. Selagi merangkak-rangkak keluar bahaya, satu dua kali terdengar tembakan dan sementara itu kedengaran Albert Rasing berteriak, "Ketun keleh manyarah, militer are!!"[3].
Beberapa lamanya setelah suasana dipandang aman, baru saya berjalan dengan menuju ke sebuah bukit. Setelah berjalan kira-kira 100 meter, bertemu dengan Willem, yang hanya berpakaian celana pendek dan baju kaos dan langsung bertanya, "En buah Ikau?“[4].
Saya belum sempat menjawab, pun agak tidak mengerti mengapa ia bertanya demikian. sebab saya belum merasakan sakit luka apa-apa. Seketika itu terdengar tembakan lagi, sehingga kita mencari perlindungan, lalu sama-sama berlari-larian sehingga bercerai. Kaki saya tersangkut hingga saya jatuh pingsan.
Ketika sadar kembali saya meneruskan perjalanan dan sorenya sampai di kaki bukit, dimana baju dibuang karena berbau darah busuk. Saya berpakaian seragam zonder sepatu. Malam itu terus naik bukit dan tidur di lereng.
Esoknya tanggal 24 Nopember saya bangun dengan tidak dapat menggerakkan kepala, karena terasa amat sakit. Sehari berputar-putar dan naik bukit, dimana setiap sepuluh langkah harus minum dari selokan, karena sangat hausnya.
Sorenya terasa sangat lapar karena sampai kini dua hari perut tidak diisi makanan. Kelaparan ini memberikan kecerdikan kepada saya untuk mendekati seekor belalang dengan sangat hati-hati,[5] yang akhirnya berhasil ditangkap dan dalam sekecap dimakan mentah-mentah sampai habis.
Malamnya hujan turun dengan terus menerus. Saya tidur di antara batu-batu dan semalam itu minum terus menerus. Untunglah ada air di selokan.
Esok harinya badanku merasa lemah, dicobanya berdiri tapi tidak dapat, terutama sendi lutut terasa lumpuh tetapi ingatan masih terang dan dapat melanjutkan perjalanan sambil merangkak-rangkak. Perut hanya diisi dengan daun-daunan, sedangkan air minum cukup. Hujan turun dengan derasnya lagi malam harinya, sehingga saya tidur berlindung di bawah sebatang pohon yang tumbang.
26 Nopember 1947, pagi-pagi waktu bangun, di tanah tempat meletakkan kepala, melihat banyak ulat-ulat kecil. Terasa pula ulat-ulat itu berkerumunan dalam luka saya di belakang leher. Kini saya tahu luka itu mulai busuk dan ulat-ulat itu berasal dari lalat.
Dalam keadaan demikian saya tetap melanjutkan perjalanan dengan merangkak. Dalam hari-hari berikutnya keadaan saya makin payah. Jalan mulai bergesor dan sering pingsan,  luka mulai bernanah pula.
29 Nopember 1947, saya sampai di sebuah ladang dengan tanaman jagung yang belum berbuah. Saya masuk pondok dan rebah tertidur. Entah berapa lama kemudian, tapi saya terbangun oleh suara tusukan di dinding. Ternyata tusukan bayonet yang disertai teriakan orang supaya saya keluar, jika tidak akan ditembak.
Saya jawab dengan keterangan keadaan sakit dan hanya dapat duduk. Dua orang militer lalu melompat ke dalam antaranya Sersan Delima. Dan dengan demikian saya kena tertawan juga. Sdr Suyoto mendapat tugas untuk membersihkan luka saya dari ulat-ulat. Obat lain kecuali pil tidak ada. Luka tersebut baru sebulan kemudian dapat sembuh setelah saya dibawa ke Jakarta.



[1] Telah diedit dan ejaan disempurnakan
[2] Karena gugup.
[3] Kalian lebih baik menyerah, militer banyak.
[4] Kenakah Engkau ?
[5] Sambil berdoa dalam hati.

Dipersembahkan kepada

Tiga Pahlawan Pasukan payung RI.[1]

Ku selalu terharu
Ingat kau bertiga.
Pahlawan negara, gagah perwira.
Mengarungi udara mempertaruhkan jiwa raga.

Berbakti… dan nyata terbukti.
            Sungguh patut dipuji.
            Mudah-mudahan Tuhan Illahi…
           Memberikan tempat yang abadi…
                       
Di surgaloka …tempat yang nyata.
Hai pahlawan negara, pahlawan kesatria
Kami yang tinggal tak ada artinya,
Jasamu tak dapat kubalas selama-lamanya.
    
Ttd,
(Tjilik Riwut)

[1] Ejaan telah disesuaikan.



--> --> --> --> --> -->

Tidak ada komentar: